Minggu, 24 Mei 2009

Tipologi Pelaku Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

DALAM khasanah wacana mengenai feminism, tidak ada permasalahan yang sepopuler kekerasan dalam rumah tangga disamping wacana kesamaan hak. Masalah kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT menjadi sebuah topik yang tak kalah seriusnya setelah wacana tuntutan persamaan hak pada perempuan ditahun 1960-an, saat itu di Amerika.

Pasca 1960, data pelaporan dan data tindak kriminal mengenai KDRT setiap tahunnya semakin meningkat. Kejadian tersebut tidak hanya terjadi di Amerika yang merupakan pioneer mengenai wacana feminism, namun terjadi di seluruh dunia. Castell (2001) dalam bukunya “The Power of Identity” melaporkan bahwa sejak tahun 1960 sampai tahun 1995 pelaporan tentang KDRT pada seluruh wilayah di dunia tidak pernah turun. Di Indonesia sendiri, data KDRT tahun 2000-2003 yang dilaporkan oleh RSCM tiap tahunnya selalu meningkat.

Castell (2001) melihat adanya korelasi negatif antara keterjepitan atau semakin krisisnya dunia kepemimpinan laki-laki (patriarkal) dengan KDRT yang semakin meningkat. Terjawab oleh Castell dalam penelitiannya bahwa semakin Perempuan menyuarakan kesamaan hak, semakin KDRT akan terus bertambah. Dalam bidang sosiologi, penemuan tersebut merupakan penemuan yang menarik dan sangat krusial terhadap peluang usaha mengurangi tingkat keseriusan yang terjadi dalam KDRT. Solusi yang ditawarkan tentu saja, mencoba mengurangi porsi perempuan dalam menyuarakan haknya.

Namun demikian, permasalahan tersebut tetap belum bisa menyelesaikan keseluruhan dari penyebab terjadinya KDRT. Diperlukan pendekatan yang tidak hanya sosiologis, tetapi juga pendekatan yang lebih bersifat psikologis. KDRT memang meningkat akibat perempuan menyuarakan kesamaan hak, akan tetapi hal tersebut bukan berarti menerangkan secara holistic bahwa setiap pria memiliki peluang untuk melakukan kekerasan. Tidak semua pria memiliki potensi melakukan KDRT. Hal tersebut sama dengan “tidak semua orang miskin adalah penjahat”. Banyak pria yang juga baik terhadap keluarganya, bahkan mungkin menjadi seorang bapak yang teramat peduli dengan keluarganya. Hal ini menerangkan betapa perlunya mengetahui karakteristik pelaku KDRT.

Karakteristik pelaku KDRT merupakan suatu hal yang dibutuhkan untuk melihat kondisi dan keberadaan figur pelaku yang potensial. Mengenal figur pelaku KDRT akan berkait erat dengan sejarah kehidupan, tempat di mana dia tinggal, serta kepribadiannya. Hasting dan Hamberger (1988), adalah tokoh awal yang berupaya mengetahui profil pelaku KDRT secara menyeluruh. Mereka telah dapat menjelaskan kepribadian para pelaku KDRT yaitu (yang biasanya) laki-laki dengan keadaan kepribadian yang kacau (personality disorder) dengan memperlihatkan level yang tinggi pada dysphoria (depresi dengan kecemasan), anxiety (kecemasan), dan somatic complaint (hal yang mempermasalahkan tubuh).

Walaupun Hasting dan Hamberger telah dapat menjelaskan karakteristik kepribadian pelaku KDRT, hasil temuan lapangan yang didapatkan oleh Hasting dan Hamberger (1988) sama sekali belumlah memberikan informasi yang akurat mengenai profil pelaku KDRT. Hasil yang didapatkan dirasa belum spesifik merujuk para pelaku KDRT. Apalagi, dari hasil temuannya, mereka gagal dan tidak menemui kejelasan sejarah kehidupan pelaku, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan umur. Mereka pun mengakui bahwa mengungkapkan profil pelaku KDRT adalah mengungkapkan sesuatu yang kompleks di mana peranan pendidikan, jenis pekerjaan, dan umur sama sekali tidak bisa dijadikan referensi.

Meneruskan hasil yang telah didapatkan oleh Hasting dan hamburger, Stordeur dan Stille (1989) menemukan lebih jelas karekateristik umum bagi pelaku KDRT. Menurut mereka, karakteristik umum yang tampil adalah bahwa mereka, pelaku, sadar atau tidak, nyata atau terselubung, meyakini peran-peran gender yang kaku yang seolah-olah membenarkan mereka untuk melakukan KDRT. Secara umum, ketika para pelaku KDRT di tes menggunakan MMPI-2 (Minnesota Multiphasic Personality Inventory-2), gambaran luas bagi pelaku KDRT adalah mereka yang memiliki lebih dari satu gejala seperti depresi, sikap yang anti sosial, rasa tidak percaya, kecemasan, serta memiliki gejala-gejala patologis lainnya. Semakin tinggi gejala patologis yang diidap pria, semakin tinggi potensi mereka untuk melakukan KDRT.

Pria dengan pengalaman masa lalu yang buruk, seperti korban dari kekerasan atau saksi bisu dari kekerasan yang dilakukan ayah kepada ibunya dapat pula memberikan sumbangan potensi sebagai salah akar pembentukan tindak KDRT (C.M. Murphy, Meyer, & O’Leary, 1993).

Sampai di sini, penjelasan mengenai profil pelaku KDRT pun hanyalah menemukan sedikit titik terang. Penjabaran dari temuan-temuan sebelumnya hanyalah memberikan gambaran secara umum profil pelaku sehingga membutuhkan penelitian lebih lanjut. Sebenarnya, Jika dikelompokan dalam sebab-sebab pelaku melakukan KDRT maka sesungguhnya ditemui setidaknya 4 sebab terjadinya KDRT, yaitu:

Ada yang dasarnya memang telah hidup dalam budaya kekerasan, melihat kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan konflik dan mendapatkan apa yang diinginkan. Dekat dengan ciri di atas, pelaku dibesarkan dalam disiplin bernuansa kekerasan di masa kecilnya, pada dasarnya dia adalah ‘korban’ yang kemudian mengambil pola yang sama untuk keluarganya, di masa dewasanya.

Ada pelaku yang cederung mengambil pola coping, atau penguasaan masalah, secara kurang tepat. Misalnya dengan minum-minum, menggantungkan diri pada obat, atau berjudi ketika menghadapi masalah. Akibatnya ia menjadi sulit mejalankan tanggung jawabnya, dan memunculkan banyak masalah dalam keluarga.

Pelaku yang lain memang tergolong orang yang tidak bertanggung jawab dan mau enaknya saja, dan kemudian menggunkan kekuatan fisik dan keuntungan posisi sosialnya untuk menekan pasangan atau keluarga

Sebagian pelaku adalah individu ‘baik-baik’ yang melakukan kekerasan karena dihimpit tekanan yang sangat berat, yang membuatnya kehilangan kendali. Misalnya dapat terjadi pada mereka yang baru mengalami PHK, mengalami kesulitan ekonomi besar, atau mengalami sakit serius.

Ditemukannya 4 sebab terjadinya KDRT merupakan fakta penting sebagai salah satu acuan untuk menemukan dan memberikan penanggulangan sejak dini KDRT ke dalam model yang berbeda. Model pencegahan yang biasa dilakukan sebelumnya, yaitu dengan menjauhkan korban dari pelaku terasa belum bisa menjamin akan keselamatan jiwa korban. Resiko yang akan dialami korban justru akan memberikan dampak yang buruk. Pelaku akan menyalahkan korban dan memiliki dendam yang teramat kuat sehingga jika dia berhasil menemui korban kembali, resiko terluka berat atau yang terburuk yaitu terbunuh adalah resiko yang harus ditanggung korban. Keadaan demikian menjelaskan bahwa persidangan KDRT sebaiknya jangan dijadikan sebagai solusi terjaminnya tidak terulang kembali tindak kekerasan. Persidangan sebaiknya hanyalah dijadikan mediator mengingat hukum mengenai KDRT tidak kalah kompleksnya dengan karakteristik pelaku.

Konseling bagi kedua pasangan adalah saran yang lebih dianjurkan. Korban akan dikonseling mengenai penerimaannya terhadap situasi yang ada serta memberikan terapi berupa belajar untuk menenangkan diri pasca trauma. Sementara itu, pelaku kekerasan akan diberikan terapi mengenai cara mengendalikan emosi sehingga dia bisa lebih mengontrol emosi pada situasi apapun.

Tahun 2006 adalah tahun yang akan memberikan sejarah besar perihal profil pelaku KDRT. Pada tahun tersebut, Johnson, Gilcrist, Beech, Weston, Takriti, dan Freeman telah berhasil mengelompokkan karakteristik profil para pelaku KDRT. Dengan menggunakan alat ukur seperti MCMI-III (Millon Clinical Multiaxial Inventory-III), Novaco Anger Scale, RSQ (Relationship Style Questionaire), DAS (Love Scale from the Dysfunctional Attitude), Hostility Toward Woman Scale, RMAS (Rape Myth Acceptance Scale), Hipermasculinity Invetory, Perspective taking, LOC (Locus of Control Scale), Rosenberg Self-Esteem Scale, dan BIDR (Balanced Inventory of Desired Responding).

Dari hasil uji alat tes, ditemukan 4 profil pelaku KDRT, yaitu Low Pathology, Borderline, Narcissistic, dan Antisosial. Pelaku yang dikatakan sebagai low pathology (12%) adalah mereka yang kecenderungan narsistiknya paling rendah dibandingkan tiga kelompok lainnya. Mereka adalah kepribadian yang memiliki kebergantungan interpersonal yang rendah dan sikap macho (tindakan ekstrim) sangat rendah. Kelompok ini sangat jarang memiliki pengalaman kekerasan di masa lalu serta hanya sedikit memiliki kehendak untuk melakukan bunuh diri. Pelaku dengan tipe Low Pathology ini adalah tipologi yang paling jarang ditemukan.

Profil pada kelompok Borderline (28%) adalah dia yang memiliki skor tinggi pada MCMI-III, yang menandakan keadaan mereka yang depresi dan memiliki ketergantungan pada alkohol. Terlebih, di dalam kelompok pelaku KDRT, tipologi borderline didapati memiliki pemgalaman kekerasan fisik dan merupakan kelompok yang paling memiliki kecenderungan tinggi melakukan bunuh diri. Mereka juga yang paling memiliki locus of control yang bersifat eksternal (situasional yang mendukung), self-esteem yang rendah, dan memiliki tingkat kemarahan paling tinggi.

Pada kelompok yang disebut Narsistik (13%), adalah mereka yang rendah pada sikap macho tetapi memiliki respon sosial yang cukup tinggi (mudah bergaul, dan juga bersosialisasi dengan baik pada masyarakat sekitar). Secara kasat mata, cukup sulit menilai bahwa pria dengan kepribadian pada respon sosial yang baik memiliki kecenderungan untuk melakukan KDRT. Sebenarnya tidak hanya itu, lebih jelasnya mereka yang dimasukkan ke dalam kelompok narsistik adalah mereka yang juga memiliki sifat arogan dan begitu mengagungkan dirinya. Mereka juga memiliki skor pada level paranoid yang tinggi. Hal ini menjelaskan bahwa profil narsistik adalah mereka yang memiliki ketakutan jatuhnya harga dirinya, dalam kasus ini tentu saja ketakutan tidak di hargai oleh anggota keluarganya.

Kemudian, kelompok yang dimasukkan ke dalam kategori Antisosial adalah mereka yang secara sosial dekat dengan kekerasan dan cenderung bersifat antisosial (47%). Kelompok ini memiliki laporan tentang perilaku buruk di masa remajanya, selalu membuat masalah di sekolah atau di luar sekolah. Dan biasanya memiliki ketergantungan yang amat tinggi pada minuman keras. Mereka pun tercatat memiliki skor tinggi pada sikap macho (ngebut-ngebutan, berkelahi, dan perilaku ekstrim lainnya) tetapi memiliki sifat narsis yang lemah. Kelompok dengan tipologi antisosial adalah kelompok yang memiliki daftar kecenderungan terhadap perilaku KDRT yang paling tinggi. Dengan memiliki laporan masalalu yang telah biasa melakukan tindak kekerasan maka melakukan KDRT bagi profil antisosial dianggapnya sebagi suatu perilaku yang wajar saja.

Sampai di sini tentu saja penelitian mengenai profil pelaku KDRT belum sampai pada masalah final yang bisa menjawab dengan pasti pelaku KDRT. Diperlukan pula penelitian lebih lanjut mengenai lingkungan sekitar dan juga situasi yang juga dapat memberikan trigger kepada upaya KDRT. Hasil temuan terbaru tentu saja telah memberikan kontribusi kepada pencegahan dan penanggulangan yang akan dilakukan berbeda tergantung pada profil pelaku, yaitu low pathology, borderline, narsistik, atau antisosial.

************
Tipologi pelaku KDRT sedikit demi sedikit memang telah dapat diketahui. Namun demikian, profil yang telah diketahui tersebut hanya bisa dijadikan acuan. Kenapa demikian, hasil temuan yang didapati keseluruhannya berasal dari luar Indonesia dimana faktor budaya dan konteks yang ada begitu berbeda dengan Indonesia. Tentu saja penelitian lebih lanjut yang lebih kontekstual dan sesuai dengan keadaan Indonesia amatlah dibutuhkan. Mungkin saja sudut demografi seperti pekerjaan, tingkat pendidikan, tingkat ekonomi ditemui perbedaannya di Indonesia, yang hasil-hasil penelitian di luar tidak ditemukan. Idhamsyah

Rata-rata pelaku KDRT adalah laki-laki, namun tidak menutup kemungkinan KDRT dilakukan oleh perempuan, walaupun amat jarang terjadi.

Sumber :
idhamputra.wordpress.com
NN

Artikel Terkait



1 komentar:

  1. halo...saya sangat tertarik dengan artikel yang anda buat.

    Saat ini saya sedang memulai skripsi mengenai typologi pelaku KDRT. Saya ingin bertanya, apakah benar penelitian ini belum pernah diangkat di Indonesia, dan hal-hal apalagi yang sampai saat ini yang masih terus dipertanyakan berhubungan dengan topik tipologi pelaku KDRT.

    kalau boleh, dapatkah anda memberitahu saya beberapa referensi buku atau junal yang dapat saya baca.

    Terimakasih sebelumnya.

    a_y

    BalasHapus

Untuk Para Sahabat Aku Sang Pelangi ;
Silahkan berikan komentar sebagai kenangan bahwa Anda pernah berkunjung di sini. Komentar juga berguna sebagai motivasi dan koreksi jika ada kesalahan dalam pembuatan posting di blog saya yang sederhana ini.
Terima kasih.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...