Selasa, 03 Mei 2011

Lebih Bergizi Lewat Fortifikasi


ADA empat kekurangan gizi yang banyak dialami anak di tanah air, yaitu protein, vitamin A, yodium, dan zat besi. Padahal, banyak dampak langsung yang dirasakan akibat kekurangan gizi tersebut. Kekurangan zat besi, misalnya, dapat menyebabkan anemia. Selain mengurangi konsentrasi anak, anemia juga dapat membuat anak tidak bersemangat dalam belajar, karena gangguan 3 L: lemah, letih, dan lesu. Ini sungguh kerugian besar bagi sebuah generasi.


SEBAGAI SOLUSI
Nah, sebenarnya fortifikasi bisa menjadi jawaban masalah gizi yang menghantui sebagian besar masyarakat. Fortifikasi sendiri merupakan penambahan satu atau lebih fortifikan (zat gizi) kepada bahan makanan/minuman yang dikonsumsi secara massal dan terus-menerus. Inilah teknologi untuk mengejar ketertinggalan masyarakat akan gizi. Sangat murah, efektif, dan efisien.
Ada banyak bahan pangan yang dapat difortifikasi. Di antaranya garam, beras, gula, tepung terigu, dan minyak goreng. Hal yang jelas, semuanya merupakan bahan konsumsi utama masyarakat. Garam, misalnya. Banyak orang dapat berpuasa dari konsumsi gula, menyeruput teh manis, kue, dan lain-lain, tapi apakah Anda tahan mengonsumsi makanan hambar setiap hari? Demikian juga dengan beras dan tepung terigu yang dikonsumsi setiap hari. Agar bahan pangan di atas "kaya" gizi, maka ditambahilah zat gizi. Untuk tepung, misalnya, berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan tahun 2003, setiap tepung yang diproduksi, diimpor, atau diedarkan di Indonesia harus mengandung zat besi 60 ppm (Part Per Million), seng 30 ppm, vitamin B1 (thiamine) 2,5 ppm, vitamin B2 (riboflavin) 4 ppm, dan asam folat 2 ppm. Tak heran jika daftar komposisi gizi pada mi instan pun dilengkapi dengan deretan zat gizi.

Penambahan lima zat gizi pada tepung terigu hanya membutuhkan biaya sekitar Rp2 per bungkusnya. Sebuah harga yang rendah di balik manfaatnya yang tinggi. Demikian juga penambahan yodium sebesar 30 ppm pada garam sangatlah murah. Untuk membuat garam beryodium tersebut, para produsen hanya perlu mencampurkan 30 g yodium ke dalam 1 ton garam. Dengan yodium bubuk seberat 1 kg berarti dapat mencampur garam sebanyak kurang lebih 33 ton. Harga yodium dalam bentuk bubuk sekilonya hanya Rp200.000.

Karena tidak membuat harga makanan menjadi mahal, tidak ada alasan bagi produsen untuk tidak membubuhi zat fortifikan pada produk makanannya. Beberapa produsen garam malah membubuhi garamnya dengan zat besi dan vitamin A. Sebuah usaha yang perlu didukung secara luas. Garam kini mampu memberi lebih dari sekadar rasa asin.

Selain garam, tepung terigu, atau beras, masih banyak makanan atau minuman lain yang saat ini difortifikasi. Untuk anak-anak, misalnya, permen susu karamel, biskuit, kue, dan minuman kesehatan. Meski bahan pangan itu tidak dikonsumsi secara massal dan terus-menerus, itu tetap merupakan usaha yang bagus, karena jajanan itu sangat akrab dengan anak. Jajanan yang semula remeh tersebut menjadi kaya akan zat gizi. Vitamin atau zat gizi yang ditambahkannya pun semakin bervariasi seperti vitamin C atau vitamin lain.

Proses fortifikasi dilakukan secara hati-hati. Jadi tidak usah khawatir anak akan mengalami keracunan akibat kebanyakan mengonsumsi makanan berfortifikasi. Ini karena pemberiannya sudah diperhitungkan tidak melampaui angka kecukupan gizi (AKG) seseorang. Pemberiannya sangat sedikit tetapi cukup efektif bagi tubuh.

Selain itu, fortifikasi juga tidak mengubah kondisi makanan. Baik bentuk, warna, rasa, bau, kekentalan, dan lain-lain. Jadi tidak ada bedanya, kecap terfortifikasi dengan kecap tanpa tambahan apa-apa. Zat gizi (fortifikan) pun diusahakan tetap stabil selama waktu penyimpanan makanan.

Kabar gembiranya, fortifikasi cukup efektif mengatasi kekurangan zat gizi pada masyarakat. Hasil penelitian Jurusan Biokimia Pascasarjana IPB membuktikan, garam fortifikasi ganda yodium dan besi (GFG) terbukti efektif mengatasi kekurangan zat besi. Penelitian dilakukan pada wanita usia subur (WUS) di Desa Junrejo, Batu, Jawa Timur.

Kepada para wanita responden tersebut diberikan paket GFG yang digunakan sebagai garam untuk memasak setiap hari selama 3 bulan. Hasilnya, kadar Hemoglobin (Hb) rata-rata WUS tersebut meningkat sangat signifikan, dari 11,5 g/dl menjadi 12,8 g/dl (11,5%) dan status besi darahnya meningkat dari 80,5 mg/dl menjadi 100,6 mg/dl (25%). Temuan ini membuktikan bahwa GFG efektif mengatasi kekurangan yodium dan zat besi. Seseorang diindikasikan menderita Anemia Gizi Besi (AGB) bila kadar Hb-nya < 12 g/dl, setelah mengonsumsi GFG kadar Hb bisa meningkat > 12 g/dl.

CERMAT MEMILIH
Sebaliknya, ada kabar buruk karena ternyata masih banyak produsen nakal yang sekadar mencantumkan tulisan penambahan zat gizi pada kemasan produknya. Angka garam beryodium gadungan ini menurut data survei Departeman kesehatan lumayan tinggi. Ada sekitar 36% produk garam yang mengandung yodium di bawah 30 ppm. Bahkan 6% garam tidak mengandung yodium sama sekali. Karena itu, orangtua harus cermat memilih produk. Cirinya antara lain, garam tersebut dikemas dengan baik dan rapi.

Begitu dengan produk olahan makanan lainnya. Kecermatan ini menjadi prioritas. Terakhir dan tak kalah penting, orangtua tetap harus memberikan menu sehat bergizi yang cukup dan seimbang. Memang, sajian tepung goreng saja sudah mengandung banyak zat gizi, tetapi tentu saja tidak cukup. Zat gizi yang memang berasal dari sumber aslinya tetap harus diberikan kepada anak karena tak ada satu makanan pun yang memiliki susuna gizi lengkap sehingga satu sama lain harus saling melengkapi.

Sumber : tabloid-nakita.com

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Untuk Para Sahabat Aku Sang Pelangi ;
Silahkan berikan komentar sebagai kenangan bahwa Anda pernah berkunjung di sini. Komentar juga berguna sebagai motivasi dan koreksi jika ada kesalahan dalam pembuatan posting di blog saya yang sederhana ini.
Terima kasih.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...