Selasa, 05 Mei 2009

Kecerdasan Emosi Politisi

RASANYA banyak orang yang masih belum lupa tentang ucapan Presiden Gus Dur beberapa tahun yang lalu, yang menyatakan anggota DPR seperti Taman Kanak-kanak. Reaksi para anggota DPR yang sangat terhormat ketika itu adalah marah besar dan menuntut Presiden untuk menarik kembali ucapannya itu. "Mana mungkin, anggota DPR yang dipilih rakyat, dianggap seperti Taman Kanak-kanak", kata mereka yang pro-DPR (yang di era euphoria itu sedang "naik daun"), "Presidennya tuh, yang seperti Taman Kanak-kanak".

Tetapi sekarang, terbukti bahwa bukan hanya anggota DPR saja, melainkan memang semua politisi Indonesia seperti anak TK, bahkan mungkin termasuk Gus Dur-nya sendiri, yang akhirnya harus lengser ditengah terpaan tuduhan kasus "Bulogate" (yang sampai hari ini tidak jelas akhir ceriteranya), dan di era pasca-kekuasaannya mengancam akan membuat kumpulan Kiai Bumi, setelah para Kiai Langitan tidak mendukung hasil Muktamar PKB baru-baru ini.

Bahwa para politisi kita bermental seperti anak TK, terlihat dari sikapnya yang selalu mau menang sendiri, tidak mau mengalah, apalagi dikalahkan, tidak sportif, dan tidak bisa beragumentasi secara rasional-logis. Sejak pra-Pemilu, sudah nampak bahwa calon-calon yang tidak lolos kualifikasi langsung menuduh KPU curang, dan membentuk "Forum Parpol" yang menolak hasil Pemilu. Ketika DPR hasil Pemilu 2004 dilantik, para anggota DPR yang terhormat tidak mau segera masuk sidang, karena saling ngambek dulu dan walaupun akhirnya bekerja lagi setelah sebulan mogok, para anggota itu malah berantem fisik gara-gara soal BBM yang sampai hari ini juga masih tetap dinaikkan.

Lebih konyol lagi adalah rebutan kursi ketua partai. Setiap Munas partai (apapun) selalu berakhir ricuh: saling pecat, bikin Munas tandingan, saling tuding sebagai pengkhianat dan seterusnya. Di PKB, gejala di era Matori terulang lagi di jamannya Alwi Shihab sekarang. Di PDIP, Megawati yang mengusung kharisma Bung Karno dan mantan presiden pula, tidak bisa menghindari cercaan rekan-rekannya dari kelompok pembaruan. Demikian pula Hamzah Haz yang mantan wakil presiden, harus pasrah ketika kantor DPP PPP diduduki oleh penganut fraksi lain dari partainya sendiri. Bahkan Zainuddin M.Z., si "Da'i Sejuta Umat", ketika terpilih lagi menjadi Ketua partai mungil PBR, juga tidak bisa berbuat banyak untuk mengendalikan umatnya di lingkungan partainya sendiri.

Menurut ilmu Psikologi, mengenal dan mampu mengendalikan emosi, adalah salah satu ciri manusia yang dewasa dan berkepribadian matang. Anak-anak belum mempunyai itu. Karena itu hampir setiap anak, termasuk anak TK, masih menunjukkan emosi yang meletup-letup, bisa menangis meraung-raung di tengah keramaian, kalau keinginannya tidak terpenuhi. Menurut Peter Salovey dan John Mayer (masing-masing psikolog dari Universitas Harvard dan New Hampshire di AS), kemampuan mengenali dan mengendalikan emosi sendiri itulah yang dinamakan kecerdasan emosi atau EI (Emotional Intelligence) (Salovey & Mayer, 1990).

Menurut kedua pakar itu, orang dewasa yang tidak dapat mengenali dan mengendalikan emosinya sendiri (termasuk suka berantem, atau tidak mau kalah dalam kompetisi) adalah orang-orang dengan EI yang rendah, dan itulah yang terjadi pada sebagian besar politisi kita, yang kelakuannya kekanak-kanakan tersebut di atas. IQ mereka boleh tinggi (beberapa anggota DPR bergelar S2 dan S3), tetapi EI mereka rendah, maka adu ototlah mereka, bukannya adu otak.

Seorang pakar psikologi AS lain, Daniel Goleman (1995), lebih jauh mengemukakan bahwa ada 5 wilayah kecerdasan emosi, yaitu: (1) mengenali emosi sendiri, (2) mampu mengelola emosi itu sesuai dengan situasi dan kondisi, (3) bisa memotivasi diri dengan emosinya, (4) bisa mengenali emosi orang lain dan (5) mampu membina hubungan baik dengan orang lain.

Kalau kita terapkan teori emosi dari Goleman itu ke perilaku para politisi kita, maka akan segera nampak bahwa tidak satupun dari kelima wilayah EI (Emotional Intelligence) itu terdapat pada diri mereka. Pertama, mereka marah-marah, dan frustrasi, tetapi mengaku sedang berdiskusi menuntut keadilan. Kedua, di tengah-tengah situasi yang membutuhkan ketenangan, kedamaian, rekonsiliasi, malah saling hujat dan memaki lewat TV atau koran. Ketiga, emosi-emosi kecewa dan marah jauh lebih dominan dari pada semangat untuk bekerja lagi, membangun partai, atau mengoptimalkan fungsi DPR dsb. Keempat, politisi kita sangat tidak peka terhadap perasaan orang lain, perasaan rakyat dan konstituen mereka yang menunggu hasil kerja wakil-wakil mereka di DPR dengan penuh harap, dan kelima, para politisi ini tidak membangun jaringan teman, melainkan justru memusuhi semua orang: pemerintah, pakar, pengamat, wartawan semua dianggap bodoh dan dimusuhi. Bagaimana politisi ini bisa menjadi super star dalam pergaulan, seperti disyaratkan oleh Goleman untuk orang yang ber EI tinggi, kalau perilakunya seperti itu?

Tetapi yang menarik adalah bahwa beberapa politisi terkenal ber-EI tinggi, sebelum terjun ke bidang politik. Beberapa mantan perwira tinggi ABRI dan beberapa profesional, termasuk profesor, terkenal sebagai sosok-sosok yang berintegritas selama karir mereka. Termasuk beberapa dosen teladan dari UI, yang kebetulan dipercaya jadi anggota KPU, dan diduga korupsi setelah menjadi anggota KPU. Mengapa bisa begitu?

Menurut Goleman, berbeda dari IQ yang relatif tidak berubah selama hidup dan mencapai titik maksimal di usia remaja, EI bisa berkembang setiap saat pada tingkat usia manapun. Orang bisa dilatih untuk meningkatkan EI-nya, tetapi juga bisa anjlok EI-nya kalau tiba-tiba ia terpengaruh oleh situasi. Dengan perkataan lain, EI tinggi tidak bisa berfungsi dalam konteks lingkungan yang tidak kondusif. Jadi masalahnya seperti ayam dan telur, mana yang duluan: politisinya yang ber-EI tinggi, atau lingkungannya yang beretika tinggi?

Untuk menyelesaikan masalah itu ada dua pilihan. Teori kepribadian otoriter (Adorno) mengatakan bahwa yang perlu adalah pemimpin yang tegas dan menegakkan disiplin, lebih mengutamakan kepentingan masyarakat/bangsa. Ketimbang keperluan-keperluan individu. Buat orang Islam, contoh yang paling pas adalah Muhammad s.a.w. yang berhasil menata masyarakat jahiliah dengan sikap adil, tetapi kadang-kadang bertangan besi (perang). Kelemahan teori ini adalah, kalau pemimpinnya keblinger (seperti Hitler, Sukarno, atau Suharto), maka rakyat pun hancur.

Pilihan kedua adalah mengikuti teori identifikasi sosial (Tajfel, Turner dll.). Kata teori ini, setiap kelompok akan mencari identitasnya sendiri. Proses cakar-cakaran dan khaos akan berlangsung beberapa saat (tidak ada hubungannya dengan EI maupun faktor infividual lainnya), sebelum akhirnya kelompok (termasuk partai dan institusi politik) menemukan keseimbangan yang pas. Proses ini akan menghasilkan masyarakat yang relatif stabil untuk jangka waktu lama (seperti Amerika Serikat), namun kerugiannya adalah bahwa proses itu sendiri makan waktu lama (AS memerlukan waktu lebih dari 200 tahun).

Indonesia mau pilih yang mana? Terserah rakyatlah....

Sumber : sarlito.hyperphp.com

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Untuk Para Sahabat Aku Sang Pelangi ;
Silahkan berikan komentar sebagai kenangan bahwa Anda pernah berkunjung di sini. Komentar juga berguna sebagai motivasi dan koreksi jika ada kesalahan dalam pembuatan posting di blog saya yang sederhana ini.
Terima kasih.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...