Jumat, 01 Mei 2009

Bila Suami Gemar Memukul

MENURUT Prof Dr Singgih D Gunarsa, siapa pun dan apa pun profesinya, perilaku atau bahkan kebiasaan memukul pasti berkaitan erat dengan kehidupan emosi yang kacau dan kepribadian yang tak matang. Artinya, orang yang gemar memukul adalah individu yang tak mampu mengendalikan munculnya dorongan sesaat atau impuls negatif dalam dirinya. "Ketidakmampuan inilah yang kemudian mendorong pemukulan terulang dan terulang kembali." Meski sesudahnya ia sempat menyesal dan berjanji takkan mengulanginya.


Kendati demikian, kecenderungan berulang-tidaknya pemukulan itu tergantung pada konstelasi kepribadian individu tersebut secara umum. "Jika tambah lama tambah matang dan terintegrasi, ya dorongan-dorongan tadi akan lebih bisa teratasi hingga pemukulan takkan terulang," kata pakar psikologi perkembangan yang juga dikenal sebagai psikolog bidang olahraga ini.

Faktor lain yang juga terkait erat adalah rasa nyaman dan bahagia serta kehidupan yang jauh dari ketegangan. Soalnya, ketidakmatangan kepribadian antara lain ditandai oleh kehidupan yang penuh ketegangan akibat berbagai tantangan dan masalah yang tak mampu dikuasai/diselesaikannya. Selain itu, ada kemungkinan dia termasuk tipe kepribadian yang agresif, bahkan mengarah sadistis karena tak memperhitungkan diri sendiri maupun orang lain.

Pola asuh
Tak kalah penting, pola sikap dan kebiasaan/kebudayaan yang tertanam atau melekat dalam dirinya juga ikut berpengaruh terhadap terbentuknya perilaku/kebiasaan memukul. Umumnya, mereka menganggap memukul sebagai sesuatu yang "biasa" hingga boleh-boleh saja dilakukan. Mereka tak menganggap serius dampaknya bagi orang yang dijadikan sasaran pukulannya. Tak heran jika sedikit-sedikit mereka lantas main pukul.

Menghadapi si pemukul yang seperti ini mesti digali akarnya pada pengasuhan dan penanaman norma-norma pribadi maupun sosial selagi kecil. "Besar kemungkinan dulunya dia hidup dalam suasana di mana pukul-memukul dianggap lumrah meski sebetulnya sangat membahayakan. Hingga dia belajar bahwa memukul memang harus dilakukan karena ia sendiri pernah mengalaminya. Sedangkan apa bentuk kesalahannya tidaklah begitu penting karena yang utama justru main pukul dulu," tutur Wakil Ketua I Badan Pimpinan Yayasan Tarumanagara ini.

Padahal, pukulan dirasakan bukan sekadar menyakiti korban secara fisik, melainkan juga melukai batin dan bersifat lebih mendalam karena bermuatan penghinaan dan perusakan harga diri. Itu sebab, terang Singgih, "pengobatan dan penyembuhannya akan makan waktu lama dan tak cukup hanya dengan kata maaf saja." Makanya, enggak heran kalau ada istri yang dipukul lantas balas memukul, hingga acara pukul-memukul jadi makin seru. Tentu saja ini bukan solusinya, karena masalah justru akan berkembang makin kompleks dan kian sulit terpecahkan.

Namun, jangan lantas kita jadi pesimis, lo. Soalnya, manusia selalu dalam posisi berkemungkinan, termasuk kemungkinan untuk berubah dan diubah. Artinya, jelas Guru Besar Emeditus pada Fakultas Psikologi UI ini, meski hidup dalam budaya pukul-memukul, tetap terbuka kemungkinan untuk berubah atau diubah oleh lingkungan, terutama keluarga dekatnya. Entah karena secara tak sadar ia meniru hal-hal baik yang dilakukan pasangan atau dipengaruhi terus-menerus oleh contoh-contoh konkret berupa sikap bijak pasangan.

Kendalikan emosi
Itu sebab, Singgih menyarankan agar kita mengendalikan emosi dalam menghadapi suami yang gemar memukul. "Jangan malah ikut-ikutan meledak atau larut di dalamnya. Seburuk apa pun perlakuan suami, istri tak dibenarkan membela diri dengan balas memukul yang akhirnya mengubah rumah tangga jadi arena tinju. Justru dengan memperlihatkan sikap sabar dan mampu mengendalikan emosi akan memperbesar kemungkinan suami terpanggil memperbaiki diri, karena hubungan suami istri adalah hubungan dinamis yang saling mengisi dan mempengaruhi," tuturnya.

Sedangkan sikap diam atau cuma meratapi nasib juga takkan banyak membantu bila tak diikuti pemikiran dan upaya nyata yang bisa dilakukan untuk menghilangkan atau minimal mengurangi perilaku buruk suami. Di antaranya memulai percakapan-percakapan yang baik dan komunikatif dalam suasana menyenangkan. Misal, "Lain kali kalau lagi marah, pukulin bantal aja, deh." Lakukan pengalihan objek semacam ini dengan cara santai sambil bergurau.

Jika cara-cara tersebut tak mempan, tak ada salahnya minta bantuan ahli seperti psikolog. Bahkan, teman/keluarga dekat yang cukup "ditakuti" suami juga bisa membantu. Langkah ini diharapkan bisa mengendalikan dan menetralisir keadaan yang tak menyenangkan agar tak berlanjut, bukan malah memperuncing masalah. Kendati tak tertutup kemungkinan yang bersangkutan justru tambah marah lantaran merasa diintervensi/direcoki urusan rumah tangganya.

Bila suami menunjukkan reaksi sesaat seperti itu, "Biarkan saja," anjur Singgih. Namun, tetap tunjukkan niat baik kita untuk memperbaiki keadaan dan bukan sekadar membeberkan aib rumah tangga seperti yang dituduhkan suami. "Bila suasana diupayakan sebaik mungkin hingga bisa dilakukan percakapan yang reasonable, besar kemungkinan sikapnya akan melunak." Hanya saja, lanjut konselor perkawinan ini, menghadapi seseorang yang kepribadiannya sangat tak matang, memang dituntut sikap ekstra hati-hati untuk mengantisipasi hal-hal yang tak diinginkan. "Baiknya, sih, langsung minta bantuan ahli dan jangan anggota keluarga."

Mampu bertahan
Jika memang suami-istri masih mengharapkan hubungan mereka bisa terus berlanjut, menurut Singgih, "tak ada alasan untuk tak mengupayakan penyelesaian terbaik. Toh, sampai kapan pun, orang masih diharapkan bisa berubah dan berkembang ke arah lebih baik. Sama halnya, kan, kita menghadapi orang sakit. Salah besar, dong, kalau kita berpikir yang bersangkutan tak akan sembuh, lantas kita tak mengupayakan kesembuhan si sakit. Apa pun risikonya dan bagaimanapun peluangnya, tetap kita harus upayakan, kan?"

Pemikiran semacam itulah, kata Singgih, yang membuat banyak istri mampu bertahan bersuamikan pria seperti itu. Menurutnya, kemungkinan ada hal-hal yang memang bisa dinilai si istri sebagai sesuatu yang menyenangkan dari suaminya. Dalam arti, sang suami akan berperilaku demikian hanya bila tengah marah atau saat menghadapi kondisi tertentu yang tak menyenangkan, misal. Sementara di luar kebiasaan buruknya tadi, ia tetaplah seorang ayah yang baik. Kemungkinan lain, si istri sudah merasa lelah berupaya, namun tanpa hasil berarti lalu merasa tak bisa berbuat lain kecuali menerima keadaan.

Hal lain yang membuat si istri bertahan lantaran ia punya ketergantungan finansial. Hingga, keputusan bercerai dianggapnya tak kalah buruk, "Aduh, kalau cerai, gimana, dong, hidup saya dan anak-anak?" Jikapun secara finansial mampu, tak sedikit istri yang ngeri pada komentar miring dari lingkungan, "Apa kata orang nanti kalau saya harus jadi janda? Nggak kebayang, deh, malunya!" Bukankah bagi banyak orang, perceraian kerap dianggap sebagai bentuk kegagalan diri sekaligus kegagalan keluarga besar? Itu sebab, meski pahit dan berat, demi prestise keluarga maupun diri sendiri, banyak yang "rela" menjalani kehidupan seperti itu.

Mengikis dendam
Tentu saja, perilaku suami yang gemar memukul akan berpengaruh buruk terhadap kejiwaan si istri. "Bukankah ia menghadapi masalah besar tapi tak bisa berbuat apa-apa? Sementara harga dirinya pun terluka bahkan tercabik-cabik," bilang Singgih. Hingga, bisa dimengerti jika kehidupannya jadi selalu penuh ketegangan yang selanjutnya akan mengganggu ketentraman/kebahagiaan hidup dan eksistensi dirinya. Kondisi tak sehat seperti ini bisa menimbulkan macam-macam reaksi, lo. Entah dalam bentuk gangguan kepribadian atau kejiwaan, semisal selalu mengeluh sakit tapi tak terdeteksi saat diperiksa, atau bahkan berupa reaksi tak sehat dalam mendidik anak-anaknya.

Hanya saja apakah berdampak buruk atau justru memunculkan reaksi positif, amat tergantung dari porsi perlakuan buruk yang diterimanya maupun persepsi masing-masing individu. Buat yang satu, masalah yang sama mungkin sudah membuatnya goyah, sementara bagi individu lain malah menempanya menjadi makin tegar. Semua ini, ujar Singgih, tergantung dari konstelasi kepribadian yang bersangkutan. Artinya, mereka yang punya kepribadian cukup kuat, biasanya memiliki reaksi negatif yang minimal. Sedangkan yang berkepribadian lemah, umumnya lebih mudah ambruk saat dihadapkan pada masalah yang sama.

Itu sebab, dalam meredam masalah ini dituntut kematangan pribadi dan kebesaran jiwa istri. "Istri yang mampu menunjukkan sikap ini biasanya lebih menitikberatkan suasana damai, menjauhkan keluarga dari ketegangan atau clash terus menerus, serta mencoba menerima keadaan dengan berusaha mengambil hikmahnya." Dengan demikian, meski fisik dan batinnya terluka, ia mampu mengikis rasa dendam maupun nafsunya untuk melakukan pembalasan.

Bibit disentegrasi
Suami yang gemar memukul juga memberi dampak amat buruk buat anak balita. Soalnya, orangtua merupakan model peniruan. Apalagi jika anak melihat dan merasakan langsung pemukulan tersebut. "Anak yang dibesarkan dalam keluarga dengan budaya pukul-memukul sedikit banyak pasti akan terpengaruh," jelas Singgih. Soalnya, meski tak lagi merasakan sakitnya pukulan secara fisik, namun suasana/emosi yang muncul saat pemukulan itu terjadi akan selalu dirasakan sebagai sesuatu yang sangat mengganggu dan membuatnya tak happy. Bukankah menggendong anak dalam suasana emosi penuh kemesraan, ketenangan, dan kecintaan akan sangat berbeda dengan kondisi penuh amarah? Anak akan merasakannya, entah lewat suhu badan, denyut jantung yang meningkat tajam, atau bahkan mata melotot.

Akan tetapi jangan ditanya apa saja dampak negatifnya mengingat berbagai kemungkinan bisa saja terjadi. Yang jelas, lanjut Singgih, bibit disintegrasi kepribadian sudah terbentuk dan kemungkinan menjadi anak agresif, suka menentang, dan variasi sejenis yang relatif banyak. Kendati bisa juga terjadi anak yang berasal dari keluarga dengan perilaku serba buruk tak meniru mentah-mentah. Melainkan justru bertekad melepaskan bayang-bayang buruk tadi, lalu memilih bentuk kehidupan yang bertolak belakang.

Ada banyak hal yang bisa dilakukan ibu untuk melindungi anak dari pengaruh buruk ayah. Paling tidak meredakan suasana yang serba kasar dan panas sekaligus mengarahkan anak agar lebih mampu bertahan. Salah satunya, jangan membicarakan terus menerus hal-hal negatif tentang ayahnya, apalagi dengan nada mengumpat.

Baik ataupun buruk perilakunya, ayah tetaplah ayah bagi si anak. Seburuk apa pun tetap perlu dinetralisir. Dengan begitu kita masih bisa berharap bahwa perkembangan kepribadian si anak takkan terusik terlalu berat.

Sebaliknya jika si ibu sama-sama tak matang emosinya, berkepribadian rapuh, anak pun akan makin kacau. Lagi-lagi si anak yang jadi korban. Kasihan, kan? "Meski tak secara otomatis ia akan jadi anak berperangai buruk pula, karena amat tergantung dari bagaimana lingkungan kelak bisa menetralisasikannya." Selain tergantung pula dari perangkat pribadi yang diperoleh dari dalam diri anak itu sendiri. Artinya, seberapa besar potensi dasarnya, bagaimana toleransinya terhadap frustrasi dan bagaimana pula sikapnya menghadapi agresivitas, serta lainnya. Perangkat pribadi ini berbeda pada tiap anak, bahkan pada saudara kembar sekalipun. Tentu kita mengharapkan tetap tersisa sisi baik yang dimiliki si anak yang nantinya akan bisa berkembang atau malah dominan dalam kepribadiannya.

Sumber : kompas.com

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Untuk Para Sahabat Aku Sang Pelangi ;
Silahkan berikan komentar sebagai kenangan bahwa Anda pernah berkunjung di sini. Komentar juga berguna sebagai motivasi dan koreksi jika ada kesalahan dalam pembuatan posting di blog saya yang sederhana ini.
Terima kasih.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...